Dulu orang tua bilang:
“Sekolah yang rajin, nanti kerja bagus, hidup mapan.”
Hari ini?
Lulusan S1: magang tak dibayar
Kerja kantoran: upah UMR, target unlimited
Ikut seminar: “Mindset-mu salah, kamu kurang bersyukur”
Dan setelah semua itu tidak menghasilkan apa-apa,
rakyat mulai bertanya:
“Gue kerja 12 jam, saldo nol.
Mungkin sekarang saatnya… daftar Fomototo.”
Data: Hustle Culture Redup, Peluang Instan Menanjak
Menurut riset LinkedIn Asia & Populix (2024):
-
68% pekerja usia 22–35 merasa “tidak puas” dengan penghasilan saat ini
-
53% mengaku mengikuti lebih dari 3 webinar pengembangan diri dalam setahun—namun tak ada peningkatan signifikan secara finansial
-
Dalam periode yang sama, kata kunci “daftar Fomototo” naik drastis pada hari Senin dan Jumat sore — dua momen eksistensial pekerja modern
Artinya:
Di tengah tuntutan kerja yang tak manusiawi, rakyat mulai mencari harapan dari hal yang paling tidak bertele-tele: spin.
Webinar Sukses vs Daftar Fomototo
Aspek | Webinar Sukses | Daftar Fomototo |
---|---|---|
Modal | Waktu, energi, internet, dan keyakinan | Email/nomor HP + mental siap kalah |
Output | “Mindset baru” | Mungkin scatter, mungkin WD |
Waktu respons | Mingguan, tahunan, atau tidak pernah | Detik itu juga |
Pengalaman emosional | Campuran bingung, bosan, dan ngantuk | Tegang, deg-degan, lalu pasrah |
Karena Kadang yang Kita Butuhkan Bukan Motivasi, Tapi Kemenangan Kecil
Kantor minta loyalitas.
HR minta evaluasi diri.
Motivator bilang, “Keluar dari zona nyaman!”
Tapi dompet tetap zona kritis.
Dan motivasi tidak bisa dibelanjakan di Alfamart.
Sementara fomototo?
Tidak pernah menggurui.
Tidak pernah menilai IPK.
Tidak pernah bilang “kamu kurang bersyukur.”
Kesimpulan: Daftar Fomototo, Bentuk Pemberontakan Lembut Terhadap Dunia Kerja yang Tak Punya Hati
Daftar Fomototo bukan jaminan sukses.
Tapi setidaknya, ia memberi sensasi bahwa kamu bisa menang—tanpa harus membentuk personal branding dulu.
Dan kalau sistem kerja hanya memberi stres,
sementara spin memberi sedikit harapan...
Mungkin daftar Fomototo adalah bentuk self-care ekonomi rakyat urban
yang sudah terlalu lelah dengan kalimat, “Sabar ya, rejeki gak kemana.”